Zonasi Menuju Pemerataan (menjadi) Sekolah Favorit
Oleh : Yusuf Yudhana
Oleh : Yusuf Yudhana
Kebijakan Zonasi merupakan sebuah terobosan berani dari seorang Prof. Muhadjir Mentri Pendidikan sekarang. Kenapa saya katakana terobosan berani, karena kebijakan ini pasti akan mengganggu status quo, terutama mereka yang masih melihat bahwa sekolah favorit adalah numero uno. Seakan akan ada gengsi tersendiri apabila berhasil menyekolahkan anaknya di sekolah favorit tersebut.
Sistem Zonasi diterapkan keseluruhan di tahun 2019 ini sudah menjadi pertimbangan matang dari Kemendikbud. Diantaranya pertimbangan jarak rumah ke sekolah yang didaftar, masih jadi patokan bagi untuk menerima calon peserta didik baru. Zonasi menjadi basis data dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan peta sebaran distribusi guru, ketersediaan sarana prasarana dan fasilitas sekolah, termasuk Wajar (Wajib Belajar) 12 tahun. Sistem zonasi mempermudah pemerintah pusat dan daerah untuk memetakan dan memberikan peningkatan akses pendidikan, baik terkait fasilitas sekolah, metode pembelajaran, maupun kualitas dan distribusi guru, sehingga dapat mempercepat pemerataan mutu pendidikan di seluruh daerah.
Lebih jauh kebijakan ini menekankan : PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, yakni zonasi (kuota minimal 90 persen), prestasi (kuota maksimal 5 persen), dan perpindahan orang tua peserta didik (kuota maksimal 5 persen).
Diantara orang tua yang keberatan dengan kebijakan Zonasi ini mengetakan : Untuk apa ada nilai UN Murni kalau Nilainya baik namun tidak bisa diterima di sekolah favorit karena domisilinya tidak masuk zona.
Perlu di ketahui sudah beberapa tahun terakhir ini nilai UN itu tidak menjadi persyaratan siswa lulus atau tidaknya. NIlai UN itu diantaranya digunakan sebagai acuan untuk proses evaluasi Kegiatan Belajar Mengajar di sebuah Sekolah. Dan memang harus diakui ada sedikit mispersepsi terkait nilai UN dan kecerdasan siswa peserta didik.
Mispersepsi yang saya maksud adalah : Siswa yang memiliki nilai UN (misal nilai Matematika nya 9 dia adalah cerdas). Padahal mata pelajaran yang di ujikan di UN itu untuk SMP hanya empat (Matematika, IPA, B.Indonesia dan B.Inggris). Sementara total pelajaran di jenjang SMP itu ada 12 Mapel. Bagaimana mungkin kecerdasan seorang peserta didik bisa diukur “hanya” dengan empat mata pelajaran saja.
Kalau kita mengutip teori dari pakar pendidikan : Prof. Howard Gardner, yang mengatakan adanya kecerdasan majemuk ada 8 jenis (Multiple Intelligences). Diatara kecerdasan majemuk tersebut adalah ; Kecerdasan Bahasa dan Kecerdasan Seni.
Tidak bisa langsung dikatakan cerdas siswa yang nilai Matematikanya 9, sementara ada siswa lain yang nilai seni rupa nya juga 9 tapi dikatakan tidak cerdas? Seperti misalnya kalau diterapkan sistem ranking saja, siswa yang rangking 1 tidak mungkin dia mendapatkan nilai baik seluruhnya di 12 mata pelajaran. Pasti ada sisi lemah dia di beberapa mata pelajaran. Lebih tepat sistem ranking ini diganti dengan sistem “The Best” ; He is the best in math., She is the best in art etc.
Sebagai contoh sebuah pertanyaan ; Siapakah yang paling cerdas diatara ke empat RUDI ini? Rudi Habibie (Presiden)? Rudi Hadisuwarno (Master Penata Rambut)? Rudi Chaerudin (Master Chef)? Atau Rudi Hartono (Master Pebulutangkis)?. Tergantung anda merasa bagian cerdas di bidang apa seperti yang di katakan Prof. Howard.
Jadi sebenarnya nilai UN tidak bertentangan dengan kebijakan zonasi. Karena nilai yang didapatkan tetap bermanfaat untuk digunakan masuk ke jenjang sekolah berikutnya (data based).
Sekolah Favorit menjadi Inklusi
Dengan adanya sistem zonasi ini, sekolah favorit menjadi inklusi (terbuka). Guru guru senior berkualitas di sekolah favorit tidak lagi berada di zona nyaman. Biasanya mereka menerima murid dengan “kecerdasan” diatas rata rata (karena nilai UN nya tinggi). Namun dengan adanya zonasi ini ; mereka harus siap menerima dengan siswa yang memiliki nilai UN di bawa rata rata. Mereka ‘mengajar’ lebih fokus lagi menghadapi murid yang beragam.
Bahkan supaya lebih merata lagi ke favorit-an sebuah sekolah, kenapa tidak para guru senior berkualitas itu di sebar (adanya mutasi lintas sekolah di sebuah Kota atau Kabupaten). Selain penyebaran guru berkualitas, juga bisa memberikan tentor kepada rekan guru lainnya. Sehingga sekolah yang selama ini dikategorikan tidak favorit, bisa merasakan sentuhan ciamik para guru senior tersebut. Maka terjadilah apa yang disebut ; sekolah dimana saja sama karena ternyata kualitas guru juga sama merata.
Tidak perlu masgul putra putri kita sekolah di bukan sekolah Favorit. Karena sesungguhnya pendidikan adalah proses yang melibatkan tiga pihak (orang tua-sekolah dan lingkungan). Favorit tidaknya tergantung kepada kita melihat dan menempatkan diri saja.
Adapun terkait sekolah swasta dengan adanya kebijakan zonasi ini justru menjadi tantangan tersendiri. Karena kita ketahui sekolah swasta ini “hidupnya’ dari jumlah siswa. Semakin banyak siswa yang didapat maka semakin sejahtera lah sekolah tersebut. Kalau sekolah swasta di kelola dengan abal abal-maka bersiaplah untuk menutup sekolah lebih awal karena sistem zonasi ini.
Bagaimana kalau zonasi dilanjut ke tingkat Perguruan Tinggi?
Boleh juga idenya, misal UGM hanya menerima 90 persen mahasiswanya berasal dari Provinsi Jogjakarta saja, 10 persenya dari luar. Namun tetap masuknya menggunakan test SBMPTN. Kalau kebijakan zonasi di tingkat PT diterapkan, yang pertama akan protes adalah Ibu Sudibyo pengusaha kos kos san mahasiswa di Jogja. Karena ngapain juga kos di tempat bu Sudibyo trus kuliah di UGM padahal rumahnya di Sleman. Dan usaha bu Sudibyo pun tutup, yaa kan?
Selamat ber zonasi
wallohu’alam
yy_190619
yy_190619
0 comments: